Beranda | Artikel
Debu Yang Beterbangan
Sabtu, 1 April 2017

Bismillah.

Melakukan amal salih adalah nikmat dari Allah. Mengerjakan ibadah hanya bisa terwujud dengan bantuan dan pertolongan Allah. Sabar dalam menghadapi cobaan dan perjuangan pun tidak bisa diraih kecuali dengan bimbingan dan taufik dari-Nya.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apabila kita telah menyadari bahwa kebutuhan kita untuk beribadah kepada Allah adalah di atas semua kebutuhan, dan hal itu tidak bisa kita lakukan kecuali dengan hidayah dan bantuan dari-Nya; maka sebagai seorang muslim kita juga harus ingat bahwa ibadah kepada Allah itu akan diterima apabila ikhlas karena-Nya. Selain itu ibadah juga harus sesuai dengan syari’at-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Amal salih tidaklah diukur dengan jumlah atau banyaknya amalan. Akan tetapi amal salih adalah amal yang sesuai dengan tuntunan. Sholat tidaklah dikatakan sebagai amal salih kecuali apabila sholat itu dikerjakan mengikuti tuntunan, demikian pula puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Dengan demikian tidak bisa mengukur dan memberikan cap amal salih kecuali dengan mengikuti syari’at dan ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti hal itu akan tertolak.” (HR. Muslim)

Semangat tanpa ilmu seringkali menyeret manusia untuk melakukan suatu tindakan yang menurut persangkaannya baik tetapi pada hakikatnya hal itu tidak bermanfaat baginya di sisi Allah. Seperti apa yang dilakukan oleh kaum Khawarij dengan menuduh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbuat adil, atau dengan mengkafirkan para sahabat nabi dan mengkafirkan pelaku dosa besar serta memberontak kepada penguasa. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Semangat tanpa ilmu pula yang menyeret seorang ahli ibadah dari bani Isra’il untuk memberikan fatwa bahwa si pembunuh sembilan puluh sembilan nyawa tidak bisa lagi bertaubat kepada Rabbnya. Sehingga akhirnya dia pun menjadi korban keseratus dari aksi pembunuhan oleh orang yang bertanya dan meminta fatwa kepadanya.

Semangat tanpa ilmu inilah yang mendorong sebagian sahabat nabi berniat bertindak berlebihan agar bisa memburu pahala; dengan berniat ingin puasa tanpa berbuka, dengan sholat malam dan tidak tidur, dan sama sekali tidak berniat menikahi wanita. Maka Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingkari dengan keras sikap dan keinginan mereka itu. Berlebih-lebihan adalah sebab kebinasaan umat-umat sebelum kita. Oleh sebab itulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari sikap berlebih-lebihan dalam beragama.

Saudaraku yang dirahmati Allah, demikianlah sifat ajaran Islam yang hanif; ia senantiasa mengawal fitrah manusia agar berjalan di atas jalan hidayah Rabbnya. Islam adalah ajaran yang jauh dari sikap berlebih-lebihan ataupun meremehkan. Inilah amal salih. Amal salih adalah yang selaras dengan bimbingan syari’at Islam, bukan amalan yang melampaui batas dan berlebih-lebihan. Di sinilah letak pentingnya kaum muslimin untuk memahami hakikat syari’at yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar mereka tidak salah menilai; sehingga amal salih dikatakan berlebihan sementara amal yang menyimpang justru dianggap kebaikan.

Salah satu kriteria amal yang menyimpang atau ibadah yang tertolak itu adalah ketika tercampuri oleh syirik kepada Allah. Seperti yang telah dikabarkan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Amal yang tercampur syirik akan sia-sia bahkan menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa besar yang paling besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65). Syirik besar akan menghapuskan semua amalan yang telah dilakukan dan menyebabkan amal kebaikan ditolak di hadapan Allah; bagai debu yang beterbangan.

Betapa mengenaskan! Seorang telah capek-capek melakukan amalan yang dia kira bisa menyelamatkan dirinya di hadapan Allah namun ternyata amal-amalnya itu tertolak dan sia-sia bahkan dirinya mendapatkan murka dan siksa dari Allah. Bukan Allah yang salah, tetapi yang salah adalah ketika dia menganggap bahwa syirik yang dilakukannya adalah kebaikan dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Hal ini terjadi tidak lain karena dia menganggap kebatilan sebagai kebenaran alias dia telah terjebak dalam kerancuan pemahaman/syubhat pemikiran. Inilah salah satu bentuk sikap dan semangat yang tidak dilandasi dengan ilmu yang benar.

Dari sinilah kita bisa mengenali keutamaan dan pentingnya aqidah dalam kehidupan setiap insan. Tanpa aqidah yang benar dan tauhid yang lurus mustahil amal seorang hamba bisa diterima di sisi Allah. Oleh sebab itu Allah menegaskan (yang artinya), “..dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Aqidah bagi agama laksana pondasi dalam sebuah bangunan. Tauhid bagi amalan laksana akar bagi sebatang pohon. Tidak tegak bangunan tanpa pondasinya, dan tidak akan hidup berkembang baik sebatang pohon apabila kehilangan akarnya. Begitu pula amal dan agama seorang muslim akan sirna dan hancur binasa apabila tidak dibangun di atas tauhid dan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5)

Orang yang hanif adalah orang yang ikhlas dalam beramal. Seperti sosok Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang digelari sebagai umat/teladan yang selalu patuh dan hanif serta tidak termasuk golongan pelaku kemusyrikan. Murni beribadah kepada Allah dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan yang bertebaran di tengah masyarakatnya. Membela aqidah tauhid ini meskipun harus berhadapan dengan permusuhan dari kaumnya bahkan dari ayahnya sendiri! Karena Ibrahim ‘alaihis salam lebih mencintai Allah dan tauhid daripada cintanya kepada manusia! Ibrahim rela mengorbankan apa yang dia cintai demi meraih kecintaan Rabbnya. Karena itulah Ibrahim ‘alaihis salam mendapatkan gelar mulia sebagai khalil/orang yang sangat dicintai Allah…

Inilah gambaran betapa aqidah tauhid menempati posisi yang sangat penting di dalam agama dan perbaikan umat manusia. Tauhid adalah dakwah yang paling pertama dan paling utama. Beramal tanpa tauhid seperti membangun gedung tanpa pondasi. Oleh sebab itu amal yang kosong dari tauhid dan keikhlasan hanya akan berbuah penyesalan dan kesia-siaan laksana debu-debu yang beterbangan… Itulah contoh gambaran aksi orang yang disebut oleh Allah dengan ungkapan ‘akhsariina a’maalan’ yaitu ‘orang-orang yang paling merugi amalnya’

Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan amal salih.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/debu-yang-beterbangan/